elevator lift

Manisnya Islam

Di depan musala kecil milik rest area besar itu, aku berdiri bersedekap bersampingan dengan Runi. Dia juga melakukan hal yang sama.

Di depan musala kecil milik rest area besar itu, aku berdiri bersedekap bersampingan dengan Runi. Dia juga melakukan hal yang sama. Rombongan kami cukup banyak, tapi musala ini begitu kecil. Jadi kami berdua memutuskan menunggu dulu di luar dan salat pada kloter berikutnya.

Ting!

Tidak jauh dari tempat kami berdiri, pintu lift terbuka. Rest area ini memang memiliki restoran di lantai teratasnya. Lift ini adalah salah satu media ‘transportasi’ dengan jalur terdekat menuju restoran itu dari parkiran belakang.

Cukup berbelok ke kanan dari lift, melewati kamar mandi dan musala, lalu setelah turunan landai dari trotoar kecil ini ke jalan beraspal, kami akan sampai di parkiran belakang rest area. Masuk ke restoran lewat lift tersebut memang opsi yang lebih baik, daripada masuk ke toko oleh-oleh di rest area, lalu menaiki eskalator hingga lantai 4.

Aku melirik sekilas dua orang yang keluar dari dalam lift. Dari aksesoris yang mereka kenakan, aku tahu mereka bukan muslim. Lebih tepatnya, sepasang suami-istri beretnis Tionghoa yang beragama Kristen atau Katolik. Kaki kiri si wanita tampaknya tak baik-baik saja, terbalut gips, dan dia berjalan dibantu kruk.

Aku mengalihkan pandanganku dari mereka. Tidak penting. Mereka bukan muslim, ya sudah. Biasa saja. Toh, kita tinggal di negara yang mengakui enam agama. Aku tidak punya urusan, kan? Jadi, selama mereka tidak mengganggu, aku tidak peduli.

Pasangan itu terlihat agak bingung ketika sudah keluar dari lift sepenuhnya. Mereka berdiskusi sebentar.

Apa mereka yang tidak biasa dengan rombonganku? Wanita-wanita muslimah dengan gamis, jilbab panjang, dan cadar. Apa mereka pikir kami — em.. entahlah — teroris? Ya, aku tidak heran, sih. Berita di luar sana tentang orang-orang seperti kami ‘kan memang dibuat menyeramkan.

“Aku ambil mobil dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar pria itu pada istrinya lalu berjalan menuju parkiran.

Nanti, setelah mengambil mobilnya, dia pasti akan lewat di jalan beraspal di depan kami karena itu satu-satunya akses keluar-masuk mobil.

Sang istri menunggu dengan berdiri di dekat kami. Meski muncul rasa kasihan, aku tidak begitu peduli. Aku berpikir saat itu, nanti kalau dia bilang butuh bantuan, akan kubantu.

“Ada yang bisa dibantu?” suara cempreng khas milik Runi membuyarkan lamunanku.

Aku segera menoleh, kudapati Runi mendekat pada wanita dengan kruk tadi dan menawarkan bantuan. Aku tertegun.

Bertanya dan menawarkan duluan, tanpa dimintai tolong. Inisiatif. Sesuatu yang dari tadi tidak terlintas di kepalaku. Satu kalimat dari Runi rasanya menampar sebuah ruang di hatiku. Apa aku begitu apatis selama ini?

Aku beranjak mendekati Runi, hendak ikut melakukan apa yang ia lakukan.

Wanita itu tampak sungkan. “Nggak, nggak usah. Nanti malah ngerepotin,” tolaknya.

Nggak kok, nggak papa kalau misalnya ada yang bisa dibantu,” balas Runi kembali dengan sopan.

Mmm.. itu.. sepatunya..” akhirnya dia mengatakannya dengan perasaan tidak enak.

Yang dia maksud adalah sepatu-sepatu di depan musala. Sepatu-sepatu itu milik anggota rombongan kami yang memang cukup banyak hingga tidak muat ditaruh di rak. Jadi, sepatu itu sengaja ditata berjejer hingga memenuhi trotoar depan musala.

“Saya nggak bisa lewat,” jelas wanita tadi.

Orang yang harus berjalan dengan kruk tentu kesusahan melewati trotoar yang penuh sepatu.

“Eh, iya-iya!” kami segera sadar akan kesalahan yang dilakukan teman-teman kami dan buru-buru meminggirkan sepatu-sepatu tersebut agar bisa memberikan ruang untuk lewat.

“Maaf ya, maaf,” kami membungkuk merasa bersalah.

Nggak kok, nggak papa. Makasih,” ujarnya ikut membungkuk sopan. “Makasih ya, makasih banyak!” ujarnya berterima kasih lagi, lalu berjalan tertatih melewati depan musala dan turun dari trotoar ke jalan beraspal lewat turunan landai.

Aku dan Runi mengikutinya karena khawatir.

Aku baru mengerti, meski aku bisa dengan mudah turun dari trotoar di sisi mana pun, asal melompat, wanita itu tidak akan mampu. Dia butuh turunan yang cukup landai untuk ditapaki. Tapi, aku dan teman-temanku abai menaruh sepatu-sepatu kami di trotoar yang merupakan milik umum.

Mobil pria tadi muncul dari parkiran belakang, lalu berhenti tepat di depan istrinya. Pria itu keluar untuk membukakan pintu mobil dan membantu istrinya masuk. Dia tampak agak kaget melihat istrinya sudah turun dari trotoar sebelum ia tiba. Namun, ia segera mengerti setelah menoleh ke arah kami.

Makasih, mbak!” ujar mereka berdua dengan senyum merekah sebelum mobil itu berjalan pergi.

“Iya, sama-sama. Hati-hati, ya!” balasku dan Runi melambaikan tangan.

“Eh, Sa! Itu yang lain udah selesai salat! Ayo gantian kita!” seru Runi mengajakku masuk ke musala. Aku mengangguk.

Di dalam musala, kami salat bersama.

Seusai salat, aku melirik Runi yang sedang berdoa. Sejak itu, aku belajar dari Runi. Tentang inisiatif untuk kebaikan. Tentang berusaha peka kondisi lingkungan dan sesama. Kalau dia tidak inisiatif bertanya, mungkin kami akan menyusahkan orang lain tanpa kami sadari.

Ya, seperti inilah sebenarnya manisnya Islam. Kepedulian yang melintasi batas kultur dan keyakinan.

Aku tersenyum. Bersyukur sekaligus bangga memiliki teman seperti Runi. Semoga dunia ini tidak pernah kehabisan orang-orang yang mengajarkanku kebaikan.

“Runi,” panggilku ketika kami beranjak meninggalkan musala, “Kamu pengen makan apa? Yuk, sini kutraktir.”

🙂

Based on true story, ditulis oleh: Masvans

Leave a Reply