Alamat:
Telap, Karang, Kec. Karangpandan, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah 57791
Kontak: 0882-2001-2016
melahirkan muslimah gemilang di usia belia
melahirkan muslimah gemilang di usia belia

Sejarah telah mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keimanannya.
Sejarah telah mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keimanannya. Kisah mereka terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat dibandingkan dengan keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia.
Salah satu diantara mereka adalah Gumaysha’ Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam.
Suaminya, Malik bin Nadhir adalah seorang yang masih kafir. Ia sangat marah kala mendengar istri dan anaknya memeluk agama Nabi yang mulia. Ia terbunuh saat meninggalkan rumahnya, meninggalkan istri dan anaknya yang mengharap pahala atas musibah yang menimpa. Ummu Sulaim mendidik Anas di atas iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala. Rasa cinta dan rindu pun tumbuh untuk bertemu Rasulullah al-Musthafa.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Penduduk Madinah menyambut kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh suka cita. Ummu Sulaim pun datang bersama anaknya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini Anas kecil, anakku. Aku membawanya kemari agar ia melayanimu. Maka berdoalah kepada Allah untuknya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya.” Anas berkata, “Demi Allah, hartaku banyak. Anakku dan cucuku saat ini berjumlah sekitar seratus orang.”[1] Ummu Sulaim berusaha keras agar Anas melakukan apapun yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rida dan menjauhi apa saja yang membuat beliau murka.
Ummu Sulaim memiliki kedudukan tinggi di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering berkunjung ke tempatnya untuk mendoakan beliau dan Anas. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melintas di dekat rumah Ummu Sulaim, beliau masuk lalu mengucapkan salam kepadanya.”[2]
Ummu Sulaim dan Anas dikagumi dan dihormati oleh masyarakat Madinah atas keimanan mereka. Salah satunya adalah Abu Thalhah, lelaki yang menaruh rasa cinta dan kagum kepada Ummu Sulaim di dalam hatinya. Ia adalah sosok yang terpandang, rupawan, serta bergelimang harta. Banyak wanita yang menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya, tetapi ia menolak dan tetap teguh untuk menikahi Ummu Sulaim.
Saat Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar dan menawarkan mahar yang besar kepada Ummu Sulaim, Ummu Sulaim menolaknya. Abu Thalhah merasa sangat sedih, hingga pada hari berikutnya ia datang lagi dan menawarkan mahar yang lebih besar. Namun karena keimanan Ummu Sulaim kepada Sang Pencipta, ia pun memberi jawaban yang luar biasa,
“Demi Allah, orang sepertimu tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.”[3]
Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu keislaman suaminya. Ummu Sulaim tinggal bersama Abu Thalhah dalam kebahagiaan yang tak terlukiskan. Ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Abu Umair. Abu Umair tumbuh menjadi sosok rupawan dan menjadi kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Namun Allah ingin menguji keimanan mereka melalui sosok kecil ini.
Pada suatu hari, Allah mewafatkan Abu Umair. Di saat yang bersamaan, Abu Thalhah sedang berada di masjid sehingga tidak mengetahui kabar kematian anaknya. Sang ibu, Ummu Sulaim, menerima takdir tersebut dengan jiwa yang ridha dan bersabar. Beliau membaringkan anaknya di ranjang sembari mengulang-ulang kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan ini kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang bercerita kepadanya.”
Tatkala Abu Thalhah kembali ke rumah, Ummu Sulaim mengusap air matanya. Kemudian beliau bersemangat menyambut suaminya dan menampakkan bahwa tidak terjadi apa-apa di rumah. Ketika beliau ditanya tentang keadaan Abu Umair, maka beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.” Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah kembali sehat sehingga beliau bahagia dengan kabar tersebut. Beliau tidak mau menengok langsung anaknya karena khawatir akan mengganggu ketenangannya.
Ummu Sulaim menyiapkan jamuan makan malam yang lezat untuk suaminya. Ketika suaminya sedang makan dengan lahap, Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya. Beliau mengenakan pakaian yang paling indah dan memakai wangi-wangian, hingga malam itu keduanya melakukan hubungan suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan puas dengan pelayanannya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah Ta’ala dan membiarkan suaminya terlelap dalam tidurnya. Di akhir malam, beliau berkata kepada suaminya,
“Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga. Kemudian, suatu ketika mereka mengambil titipan tersebut. Maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolak mengembalikan barang titipan?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”
Kemudian Ummu Sulaim bertanya lagi,
“Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut merasa keberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah memanfaatkannya?”
Abu Thalhah menyahut, “Berarti mereka tidak adil.”
Lalu Ummu Sulaim menyampaikan kabar kematian ankanya,
“Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya. Maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarah. Beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kau kabari tentang anakku?” Beliau mengulang-ulang pertanyaan tersebut hingga akhirnya beliau mengucapkan kalimat istirja’ lalu bertahmid kepada Allah. Sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya, Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang kejadian yang telah berlalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
بارك الله لكما في ليلتكما
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai saat itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak. Tatkala beliau melahirkan, beliau mengutus Anas bin Malik untuk membawanya menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut. Anas berkata, “Berikanlah nama baginya, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Namanya ‘Abdullah.”[4]
Demikianlah kisah sosok teladan dalam keimanan dan kesabaran, hingga kabar gembira Surga pun disampaikan dari lisan Ash-Shadiqul Mashduq. Diriwayatkan dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau ﷺ bersabda, “Aku masuk ke dalam surga, lalu aku mendengar suara, aku pun bertanya, ‘Siapa itu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Dia Ghumaysha’ binti Milhan, Ibu Anas bin Malik’.”[5]
Semoga Allah senantiasa merahmati Ummu Sulaim serta memberi kita taufiq untuk selalu meneladani keimanan dan kesabaran dalam menerima takdir dan ketetapan Allah. Wallahu waliyyut taufiq.
1) HR Muslim (2481) dan (143), Kitab: Keutamaan-keutamaan Para Sahabat
2) HR An-Nasa’i, Kitab: Keutamaan-keutamaan Para Sahabat
3) HR An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60
4) Mahmud Mahdi Al-Istanbuli et al. Kitab: Mereka adalah Para Shahabiyat. Hal. 177-186
5) HR Muslim (2456), Ahmad (III/239-268), Abu Ya’la (VI/223)